Kuskus Beruang adalah anggota dari genus Ailurops.[1] Kuskus Beruang adalah hewan marsupial dan dari keluarga Phalangeridae.[1]
Kuskus Beruang adalah marsupial arboreal yang hidup di kanopi hutan
hujan tropis.[rujukan?] Hampir tidak diketahui status dan keadaan ekologinya.[2][3] Meskipun ilmuwan menggolongkan populasi ini
kedalam satu spesies, yaitu , A. ursinus, atau melanotis, tetapi
pada dasarnya Kuskus Beruang merupakan suatu spesies.[1] Genus ini berbeda, meskipun pihak berwenang
memasukan dalam subfamili, Ailuropinae.[1] Kuskus Beruang hanya ditemukan di beberapa
pulau di Indonesia, yang merupakan bagian dari Asia, yang sebagian besar marsupial tidak
ditemukan di Asia.It is found only on some of the islands of Indonesia, which is a part of Asia, where marsupials
are generally not found. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa isolasi yang
menyebabkan Kuskus Beruang ditemukan di Pulau
Sulawesi yang terjadi
pada waktu Miosen
yang menyebabkan perbedaan dari keluarga Phalangeridae.
Rusa Bawean (Axis
kuhlii) adalah sejenis rusa yang saat ini hanya
ditemukan di Pulau Bawean di tengah Laut Jawa, Secara administratif pulau ini
termasuk dalam Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Spesies ini tergolong langka dan
diklasifikasikan sebagai "terancam punah" oleh IUCN.
Populasinya diperkirakan hanya tersisa sekitar 300 ekor di alam bebas. Rusa
Bawean hidup dalam kelompok kecil yang biasanya terdiri atas rusa betina dengan
anaknya atau jantan yang mengikuti betina untuk kawin. Mereka tergolong hewan
nokturnal atau aktif mencari makan di malam hari
Babirusa (Babyrousa babirussa) hanya
terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari
untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang.
Panjang
tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada
65-80 sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Meskipun bersifat penyendiri,
pada umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor pejantan yang paling kuat
sebagai pemimpinnya.
Binatang
yang pemalu ini bisa menjadi buas jika diganggu. Taringnya panjang mencuat ke
atas, berguna melindungi matanya dari duri rotan. Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor
satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu akan disusui
selama satu bulan, setelah itu akan mencari
makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa betina hanya
melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babirusa lima hingga 10 bulan, dan
dapat bertahan hingga usia 24 tahun.
Mereka
sering diburu penduduk setempat untuk dimangsa atau
sengaja dibunuh karena merusak lahan pertanian dan perkebunan. Populasi hewan yang juga memangsa larva ini kian
sedikit hingga termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi. Jumlah mereka
diperkirakan tinggal 4000 ekor dan hanya terdapat di Indonesia.
Sejak
tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam
kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan CITES. Namun masih sering dijumpai perdagangan daging
babirusa di daerah Sulawesi Utara. Karena itu, pusat penelitian
dan pengembangan biologi LIPI bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat beserta Departemen Kehutanan dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan program perlindungan terhadap hewan
langka ini. Perlindungan tersebut meliputi pengawasan habitat babirusa dan
membuat taman perlindungan babirusa di atas tanah seluas 800 hektar.
Katak kepala-pipih kalimantan (Barbourula kalimantanensis) adalah sejenis kodok dari suku Bombinatoridae. Katak yang langka ini merupakan satu-satunya jenis katak di dunia yang diketahui tidak memiliki paru-paru; meskipun ketiadaan paru-paru ini juga ditemui pada beberapa jenis amfibi lainnya seperti pada salamander dan juga sejenis sesilia, Tanpa paru-paru
Katak ini
pertama kali dideskripsi pada tahun 1978 oleh Djoko T. Iskandar, seorang pakar herpetofauna dari ITB.[3] Spesimen yang hanya satu-satunya
ini ketika itu diperoleh dari sekitar Nanga Pinoh, Melawi, Kalimantan Barat.
Meskipun berbagai upaya pencarian telah dilakukan, spesimen yang kedua baru
dapat dikoleksi dari tempat yang berdekatan pada tahun 1995.[2]
Mengingat
sampai ketika itu hanya dua spesimen yang dipunyai, belum pernah diketahui
sebelumnya bahwa spesies ini tidak memiliki paru-paru,
karena tidak pernah dilakukan pembedahan atas koleksi yang amat berharga ini.
Sampai pada sekitar bulan Agustus 2007, ketika ditemukan lebih banyak spesimen
lagi oleh ekspedisi pencarian kembali katak ini. Ketika itupun, ekspedisi
mendapatkan bahwa habitat di tempat katak ini ditemukan mula-mula telah habis
rusak oleh penambangan emas ilegal, dan justru menemukan dua populasi yang
baru di sebelah hulu, di mana air sungai masih jernih dan deras.[4]
Ketiadaan
paru-paru katak ini baru diketahui ketika dilakukan pembedahan rongga dada atas
delapan spesimen yang baru dikoleksi, dan tidak mendapatkan baik paru-paru
maupun celah tekak (glottis) sebagai muara saluran udara di mulut katak.
Kerabat terdekatnya, Barbourula busuangensis, nyata-nyata memiliki paru-paru
lengkap dengan saluran pernafasannya. Tak adanya paru-paru pada tetrapoda (hewan berkaki empat) sejauh ini
diketahui terjadi pada beberapa banyak spesies hewan, semuanya dari amfibia. Yakni pada salamander dari suku Plethodontidae (350
spesies) dan 2 spesies dari genus Onychodactylus suku Hynobiidae, serta
dari sejenis sesilia Atretochoana eiselti. Ketiadaan paru-paru pada katak B.
kalimantanensis diperkirakan merupakan adaptasi terhadap lingkungannya yang
berair deras dan kaya oksigen, dengan memanfaatkan permukaan kulit dan alat
tubuh lainnya untuk menyerap oksigen sebaik-baiknya, dan menghilangkan
paru-paru yang menjadikan tubuh katak sukar menyelam dan mudah dihanyutkan
arus.[4]
Banteng atau tembadau (dari bahasa
Jawa, banṭèng), Bos
javanicus, adalah hewan yang sekerabat dengan sapi dan ditemukan di Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Kalimantan, Jawa, and Bali. Banteng dibawa ke Australia Utara pada masa kolonisasi Britania
Raya pada 1849 dan sampai sekarang masih lestari.
Terdapat tiga anak jenis banteng liar: B.
javanicus javanicus (di Jawa, Madura, dan Bali), B. javanicus lowi (di Kalimantan, jantannya berwarna coklat bukan hitam), dan B.
javanicus birmanicus (di Indocina). Anak jenis yang terakhir digolongkan
sebagai Terancam oleh IUCN.
Banteng dapat mencapai tinggi sekitar 1,6m di
bagian pundaknya dan panjang badan 2,3 m. Berat banteng jantan biasanya sekitar 680 - 810 kg — jantan yang
sangat besar bisa mencapai berat satu ton — sedangkan betinanya lebih ringan. Banteng memiliki bagian putih
pada kaki bagian bawah dan pantat,punuk putih, serta warna putih disekitar mata dan
moncongnya, walaupun terdapat sedikit dimorfisme seksual pada ciri-ciri tersebut. Banteng jantan memiliki
kulit berwarna biru-hitam atau atau coklat gelap, tanduk panjang melengkung ke
atas, dan punuk di bagian pundak. Sementara, betinanya memiliki kulit coklat
kemerahan, tanduk pendek yang mengarah ke dalam dan tidak berpunuk.
Banteng hidup dari rumput, bambu, buah-buahan, dedaunan, dan ranting muda. Banteng umumnya aktif baik
malam maupun siang hari, tapi pada daerah pemukiman manusia, mereka beradaptasi
sebagai hewan
nokturnal. Banteng
memiliki kecenderungan untuk berkelompok pada kawanan berjumlah dua sampai tiga
puluh ekor. Di Jawa, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran menjadi pertahanan terakhir hewan asli Asia Tenggara ini.
Anoa adalah hewan khas Sulawesi. Ada dua spesies anoa yaitu: Anoa
Pegunungan (Bubalus
quarlesi) dan Anoa
Dataran Rendah (Bubalus depressicornis). Keduanya tinggal dalam hutan yang tidak
dijamah manusia. Penampilan mereka mirip dengan kerbau dan memiliki berat 150-300 kg. Anak anoa akan
dilahirkan sekali setahun.
Kedua spesies tersebut dapat ditemukan di Sulawesi, Indonesia. Sejak tahun 1960-an berada dalam status
terancam punah. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih
bertahan hidup. Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan
dagingnya.
Anoa Pegunungan juga dikenal dengan nama
Mountain Anoa, Anoa de Montana, Anoa de Quarle, Anoa des Montagnes, dan
Quarle's Anoa. Sedangkan Anoa Dataran Rendah juga dikenal dengan nama Lowland
Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines.
Rangkong papan atau dalam nama ilmiahnya Buceros bicornis
adalah spesies terbesar dalam suku burung Bucerotidae. Burung dewasa berukuran sangat besar, dengan
panjang mencapai 160cm. Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, dan tanduk
kuning-hitam di atas paruh besar berwarna kuning. Kulit mukanya berwarna hitam
dengan bulu leher berwarna kuning kecoklatan. Bulu ekor berwarna putih dengan
garis hitam tebal di tengah. Tanduk burung Rangkong Papan berongga dan tidak
padat. Burung betina berukuran lebih kecil dari burung jantan. Jantan dan
betina dapat dibedakan dengan mudah dari matanya. Mata burung betina berwarna
biru, sedangkan burung jantan bermata merah.
Populasi Rangkong papan tersebar di hutan
tropis di India,
Republik Rakyat Cina, Indocina, Nepal, Bhutan, Semenanjung Malaysia dan pulau Sumatera, Indonesia. Pakan burung Rangkong Papan terdiri dari
aneka buah-buahan, hewan berukuran kecil, burung, serangga dan reptil. Burung
Rangkong bersifat monogami, hanya berpasangan dengan seekor lawan jenis.
Rangkong Papan bersarang di dalam lubang
pohon. Pada waktu bertelur, burung betina mengurung diri di dalam lubang pohon
yang hampir seluruhnya ditutup dengan lumpur, sampai anak burung mulai besar.
Pada saat-saat ini, burung betina dan anak burung tergantung sepenuhnya pada
burung jantan untuk memberikan makanan melalui celah kecil yang dibiarkan
terbuka.
Penangkapan liar dan hilangnya habitat hutan
mengancam keberadaan spesies ini. Burung Rangkong Papan dievaluasikan sebagai
hampir terancam di dalam IUCN
Red List dan
didaftarkan dalam CITES Appendix I.
Casuarius adalah salah satu dari dua genus burung di dalam suku
Casuariidae. Genus ini terdiri dari tiga spesies kasuari
yang berukuran sangat besar dan tidak dapat terbang.
Daerah sebaran ketiga spesies ini adalah di
hutan tropis dan pegunungan di pulau Irian. Kasuari Gelambir-ganda adalah satu-satunya spesies burung kasuari
yang terdapat di Australia.
Kasuari diperlengkapi tanduk di atas
kepalanya, yang membantu burung ini sewaktu berjalan di habitatnya di hutan
yang lebat. Selain tanduk dikepalanya, kasuari mempunyai kaki yang sangat kuat
dan berkuku tajam. Burung kasuari betina biasanya berukuran lebih besar dan
berwarna lebih terang daripada jantan.
Kucing merah (Pardofelis badia), juga dikenal sebagai kucing
Kalimantan, Kalimantan kucing merah, atau Kalimantan kucing marmer, adalah
kucing liar endemik pulau Kalimantan yang muncul relatif jarang dibandingkan
dengan sympatric felids, berdasarkan pada kurangnya historis serta catatan
terakhir. Pada tahun 2002, IUCN mengklasifikasikan spesies yang bergantung pada
hutan ini sebagai terancam punah karena penurunan populasi diproyeksikan oleh
lebih dari 20% pada tahun 2020 karena kehilangan habitat. Seperti tahun 2007,
ukuran populasi efektif diduga berada di bawah 2.500 individu dewasa.[1]
Kucing merah secara historis telah dicatat
sebagai langka dan saat ini tampaknya terjadi pada kepadatan relatif rendah,
bahkan di habitat asli.[3]
Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan salah satu dari lima
spesies badak. Badak ini adalah badak terkecil,
memiliki tinggi sekitar 120–145 sentimeter, dengan panjang sekitar 250 sentimeter dan berat 500–800 kilogram. Seperti spesies badak di Afrika, badak ini memiliki dua cula. Badak Sumatra
terdapat di Taman
Nasional Kerinci Seblat (Bengkulu).
Badak jawa atau Badak bercula-satu kecil (Rhinoceros
sondaicus) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan satu dari lima badak yang masih ada. Badak ini masuk ke genus yang
sama dengan badak
india dan memiliki
kulit bermosaik yang menyerupai baju baja. Badak ini memiliki panjang 3,1–3,2 m
dan tinggi 1,4–1,7 m. Badak ini lebih kecil daripada badak india dan lebih
dekat dalam besar tubuh dengan badak
hitam. Ukuran culanya
biasanya lebih sedikit daripada 20 cm, lebih kecil daripada cula spesies badak
lainnya.
Badak ini pernah menjadi salah satu badak di Asia yang paling banyak menyebar. Meski disebut
"badak jawa", binatang ini tidak terbatas hidup di Pulau
Jawa saja, tapi di
seluruh Nusantara, sepanjang Asia
Tenggara dan di India serta Tiongkok. Spesies ini kini statusnya sangat kritis,
dengan hanya sedikit populasi yang ditemukan di alam bebas, dan tidak ada di
kebun binatang. Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi.[4] Populasi 40-50 badak hidup di Taman Nasional Ujung Kulon di pulau Jawa, Indonesia. Populasi badak Jawa di alam bebas lainnya
berada di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam dengan perkiraan populasi tidak lebih dari
delapan pada tahun 2007. Berkurangnya populasi badak jawa diakibatkan
oleh perburuan untuk diambil culanya, yang sangat berharga pada pengobatan
tradisional Tiongkok, dengan harga sebesar $30.000 per kilogram di pasar
gelap.[4] Berkurangnya populasi badak ini juga
disebabkan oleh kehilangan habitat, yang terutama diakibatkan oleh perang,
seperti perang
Vietnam di Asia Tenggara juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa dan
menghalangi pemulihan.[5] Tempat yang tersisa hanya berada di dua
daerah yang dilindungi, tetapi badak jawa masih berada pada risiko diburu, peka
terhadap penyakit dan menciutnya keragaman genetik menyebabkannya terganggu
dalam berkembangbiak. WWF Indonesia mengusahakan untuk mengembangkan
kedua bagi badak jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam
seperti tsunami,
letusan gunung berapi Krakatau dan gempa
bumi, populasi badak
jawa akan langsung punah.[6] Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan
sumber, maka populasinya semakin terdesak.[6] Kawasan yang diidentifikasikan aman dan
relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung
Salak, Jawa
Barat yang pernah
menjadi habitat badak Jawa.[6]
Burung-burung cendrawasih merupakan anggota famili Paradisaeidae
dari ordo Passeriformes. Mereka ditemukan di Indonesia timur, pulau-pulau selat Torres, Papua
Nugini, dan Australia timur. Burung anggota keluarga ini dikenal
karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat
memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau kepalanya. Ukuran burung
cendrawasih mulai dari Cendrawasih raja pada 50 gram dan 15 cm hingga
Cendrawasih paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cendrawasih manukod
jambul-bergulung pada 430 gram.
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah
anggota genus Paradisaea, termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning-besar, Paradisaea apoda. Jenis ini
dideskripsikan dari spesimen yang dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang.
Spesimen ini disiapkan oleh pedagang pribumi dengan membuang sayap dan kakinya
agar dapat dijadikan hiasan. Hal ini tidak diketahui oleh para penjelajah dan
menimbulkan kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah mendarat namun tetap
berada di udara karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of paradise
('burung surga' oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda - yang berarti
'tak berkaki'.
Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang
rumit, dengan sistem kawin jenis-jenis Paradisaea adalah burung-burung
jantan berkumpul untuk bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina
agar dapat kawin. Sementara jenis lain seperti jenis-jenis Cicinnurus dan Parotia memiliki tari perkawinan yang beraturan.
Burung jantan pada jenis yang dimorfik seksual bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang dideskripsikan
sebagai jenis baru, dan beberapa spesies diragukan kevalidannya.
Jumlah telurnya agak kurang pasti. Pada jenis
besar, mungkin hampir selalu satu telur. Jenis kecil dapat menghasilkan
sebanyak 2-3 telur (Mackay 1990).
Bunga bangkai atau
suweg raksasa atau batang krebuit (nama lokal untuk fase
vegetatif), Amorphophallus titanum Becc., merupakan tumbuhan dari suku
talas-talasan (Araceae) endemik dari Sumatera, Indonesia, yang dikenal sebagai tumbuhan
dengan bunga (majemuk) terbesar di dunia, meskipun catatan menyebutkan bahwa
kerabatnya, A. gigas (juga endemik dari Sumatera) dapat menghasilkan
bunga setinggi 5m. [1] Namanya berasal dari bunganya
yang mengeluarkan bau seperti bangkai yang membusuk, yang dimaksudkan
sebenarnya untuk mengundang kumbang dan lalat
penyerbuk bagi bunganya. Banyak orang
sering salah mengira dan tidak bisa membedakan bunga bangkai dengan Rafflesia arnoldii.
Mungkin karena orang sudah mengenal Rafflesia sebagai bunga terbesar dan
kemudian menjadi bias dengan ukuran bunga bangkai yang juga besar.
Tumbuhan ini memiliki dua fase dalam
kehidupannya yang muncul secara bergantian, fase vegetatif dan fase generatif.
Pada fase vegetatif muncul daun dan batang semunya. Tingginya dapat mencapai 6m. Setelah beberapa waktu (tahun), organ
vegetatif ini layu dan umbinya dorman. Apabila cadangan makanan di umbi mencukupi
dan lingkungan mendukung, bunga majemuknya akan muncul. Apabila cadangan
makanan kurang tumbuh kembali daunnya.
Bunganya sangat besar dan tinggi, berbentuk
seperti lingga
(sebenarnya adalah tongkol atau spadix) yang dikelilingi oleh seludang bunga yang juga berukuran besar. Bunganya berumah satu dan protogini:
bunga betina reseptif terlebih dahulu, lalu diikuti masaknya bunga jantan,
sebagai mekanisme untuk mencegah penyerbukan sendiri. Hingga tahun 2005, rekor bunga tertinggi di
penangkaran dipegang oleh Kebun Raya Bonn, Jerman yang menghasilkan bunga setinggi 2,74m pada
tahun 2003. Pada tanggal 20 Oktober 2005, mekar bunga dengan ketinggian 2,91m
di Kebun Botani dan Hewan Wilhelma, Stuttgart, juga di Jerman. Namun demikian, Kebun Raya Cibodas, Indonesia mengklaim bahwa bunga yang mekar di sana
mencapai ketinggian 3,17m pada dini hari tanggal 11 Maret 2004 [2]. Bunga mekar untuk waktu sekitar seminggu,
Anggrek hitam (Coelogyne pandurata) adalah spesies anggrek
yang hanya tumbuh di pulau Kalimantan. Anggrek hitam adalah maskot flora
propinsi Kalimantan Timur. Saat ini, habitat asli anggrek hitam
mengalami penurunan jumlah yang cukup besar karena semakin menyusutnya luas
hutan di Kalimantan namun masih bisa ditemukan di cagar alam Kersik Luway dalam jumlah yang sedikit. Diperkirakan jumlah yang lebih banyak
berada di tangan para kolektor anggrek, Dinamakan anggrek hitam karena anggrek
ini memiliki lidah (labellum) berwarna hitam dengan sedikit garis-garis
berwarna hijau dan berbulu. Sepal dan petal berwarna hijau muda. Bunganya cukup harum
semerbak dan biasa mekar pada bulan Maret hingga Juni.
Anggrek hitam termasuk dalam anggrek golongan simpodial dengan bentuk bulb membengkak pada bagian bawah dan daun terjulur di atasnya. Setiap bulb
hanya memiliki dua lembar daun saja. Daunnya sendiri sekilas mirip seperti daun
pada tunas kelapa muda.
Kayu-hitam Sulawesi adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari suku eboni-ebonian (Ebenaceae). Nama ilmiahnya adalah Diospyros
celebica, yakni diturunkan dari kata "celebes" (Sulawesi), dan merupakan tumbuhan
endemik daerah itu, Pohon, batang lurus dan tegak dengan tinggi sampai
dengan 40 m.
Diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan) besar. Kulit batangnya beralur,
mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam. Pepagannya berwarna coklat muda dan di bagian dalamnya
berwarna putih kekuning-kuningan.
Daun tunggal, tersusun berseling, berbentuk jorong
memanjang, dengan ujung meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit
dan berwarna hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna hijau abu-abu.
Bunganya mengelompok pada ketiak daun,
berwarna putih. Buahnya bulat telur, berbulu dan berwarna merah kuning sampai
coklat bila tua. Daging buahnya yang berwarna keputihan kerap dimakan monyet, bajing atau kelelawar; yang dengan demikian bertindak sebagai agen
pemencar biji.
Bijinya berbentuk seperti baji yang memanjang, coklat kehitaman.
Matoa (Pometia pinnata) adalah tanaman buah khas Papua, tergolong pohon besar dengan tinggi
rata-rata 18 meter dengan diameter rata-rata maksimum 100 cm.[1] Umumnya berbuah sekali dalam setahun.[1] Berbunga pada bulan Juli sampai Oktober dan berbuah 3 atau 4 bulan kemudian.[1] Penyebaran buah matoa di Papua hampir
terdapat di seluruh wilayah dataran rendah hingga ketinggian ± 1200 m dpl.[1] Tumbuh baik pada daerah yang kondisi tanahnya
kering (tidak tergenang) dengan lapisan tanah yang tebal.[1] Iklim yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang baik
adalah iklim dengan curah hujan yang tinggi (>1200 mm/tahun).[1] Matoa juga terdapat di beberapa daerah di Sulawesi, Maluku, dan Papua
New Guinea.[2] Buah matoa memiliki rasa yang manis.[2]
Di Papua dikenal 2 jenis matoa, yaitu Matoa Kelapa dan Matoa Papeda.[1] Ciri yang membedakan keduanya adalah terdapat
pada tekstur buahnya, Matoa Kelapa dicirikan oleh daging buah yang kenyal
seperti rambutan aceh, diameter buah 2,2-2,9 cm dan diameter biji
1,25-1,40 cm.[1] Sedangkan Matoa Papeda dicirikan oleh daging
buahnya yang agak lembek dan lengket dengan diamater buah 1,4-2,0 cm.[1] Tanaman ini mudah beraptasi dengan kondisi panas maupun dingin.[2] Pohon ini juga tahan terhadap serangga, yang pada umumnya merusak buah.[2]
Cendana, atau cendana wangi, merupakan pohon penghasil
kayu cendana dan minyak cendana. Kayunya digunakan
sebagai rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi, campuran parfum, serta sangkur keris (warangka). Kayu yang baik bisa
menyimpan aromanya selama berabad-abad. Konon di Sri
Lanka kayu ini
digunakan untuk membalsam jenazah putri-putri raja sejak abad
ke-9. Di Indonesia, kayu ini banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau
Timor, meskipun
sekarang ditemukan pula di Pulau
Jawa dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.
Cendana adalah tumbuhan
parasit pada awal
kehidupannya. Kecambahnya memerlukan pohon inang untuk mendukung
pertumbuhannya, karena perakarannya sendiri tidak sanggup mendukung
kehidupannya. Karena prasyarat inilah cendana sukar dikembangbiakkan atau
dibudidayakan.[2]
Kayu cendana wangi (Santalum album)
kini sangat langka dan harganya sangat mahal. Kayu yang berasal dari daerah
Mysoram di India selatan biasanya dianggap yang paling bagus kualitasnya. Di
Indonesia, kayu cendana dari Timor juga sangat dihargai. Sebagai gantinya
sejumlah pakar aromaterapi dan parfum menggunakan kayu cendana jenggi (Santalum spicatum). Kedua jenis kayu
ini berbeda konsentrasi bahan kimia yang dikandungnya, dan oleh karena itu
kadar harumnya pun berbeda.
Kayu cendana dianggap sebagai obat alternatif
untuk membawa orang lebih dekat kepada Tuhan. Minyak dasar kayu cendana, yang
sangat mahal dalam bentuknya yang murni, digunakan terutama untuk penyembuhan
cara Ayurveda, dan untuk menghilangkan rasa cemas. Kepuh atau kelumpang
(Sterculia foetida) adalah sejenis pohon kerabat jauh kapuk
randu. Tinggi dengan
batang besar menjulang, pohon ini kerap didapati di hutan-hutan pantai. Di Bali dan juga di Jawa, pohon yang lekas tumbuh ini banyak ditemukan
di pemakaman.
Nama-nama lainnya, di antaranya halumpang
(Bat.); kĕpoh, kolèangka (Sd.); kepuh, kepoh, jangkang (Jw.); jhangkang, kekompang (Md.); kepuh, kepah, kekepahan (Bal.); kepoh, kelompang, kapaka, wuka, wukak
(bahasa-bahasa di NTT); bungoro, kalumpang (Mak.); alumpang, alupang, kalupa (Bug.); kailupa furu, kailupa buru (Maluku
Utara); dan lain-lain.[1] Juga disebut sebagai kabu-kabu, kalupat,
lepong, kelumpang jari.[2]
Nama marganya diambil dari Sterculius atau Sterquilinus,
yakni nama dewa pupuk pada mitologi Romawi. Bersama dengan nama spesiesnya, foetida
(artinya, berbau keras, busuk), nama ilmiahnya merujuk pada bau tak enak yang
dikeluarkan oleh pohon ini, terutama dari bunganya, Bunga majemuk dalam malai dekat ujung ranting,
panjang 10–15 cm, hijau atau ungu pudar; dengan kelopak yang berbagi-5 laksana
mahkota, taju hingga 1,3 cm, berwarna jingga. Buah
bumbung besar, lonjong
gemuk, 7,6–9 x 5 cm; berkulit tebal, merah terang, akhirnya mengayu; berkumpul
dalam karangan berbentuk bintang. Biji 10-15 butir per buah, kehitaman, melekat
dengan aril berwarna kuning, 1,5–1,8 cm panjangnya.[2]
Ketapang atau katapang (Terminalia catappa)
adalah nama sejenis pohon tepi pantai yang rindang. Lekas tumbuh dan membentuk
tajuk indah bertingkat-tingkat, ketapang kerap dijadikan pohon peneduh di
taman-taman dan tepi jalan. Selain nama ketapang dengan pelbagai variasi
dialeknya (misalnya Bat.: hatapang; Nias: katafa; Mink.: katapiĕng; Teupah: lahapang; Tim.: ketapas; Bug.: atapang; dll.), pohon ini juga
memiliki banyak sebutan seperti talisei, tarisei, salrisé (Sulut); tiliso, tiliho, ngusu (Maluku
Utara); sarisa,
sirisa, sirisal, sarisalo (Mal.); lisa (Rote); kalis, kris (Papua
Barat); dan
sebagainya.[1]
Dalam bahasa
Inggris tumbuhan ini
dikenal dengan nama-nama Bengal almond, Indian almond, Malabar
almond, Singapore almond, Tropical almond, Sea almond,
Beach almond, Talisay tree, Umbrella tree, dan lain-lain.
· Nepenthes
adnata (kantong semar); Endemik Sumatera Barat dengan status IUCN Redlist
Data Deficient.
· Nepenthes
aristolochioides (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN
Redlist Critically Endangered.
· Nepenthes
bongso (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist
Vulnerable.
· Nepenthes
diatas (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Lower
Risk.
· Nepenthes
clipeata (kantong semar); Endemik Kalimantan Barat dengan status IUCN
Redlist Critically Endangered.
· Nepenthes
dubia (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist
Critically Endangered.
· Nepenthes
eymae (kantong semar); Endemik Sulawesi dengan status IUCN Redlist
Vulnerable.
· Nepenthes
inermis (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist
Vulnerable.
· Nepenthes
insignis (kantong semar); Endemik Papuadengan status IUCN Redlist
Vulnerable.
· Nepenthes
jamban (kantong semar); Endemik Sumatera.
· Nepenthes
klossii (kantong semar); Endemik Papua dengan status IUCN Redlist
Vulnerable.
· Nepenthes
lavicola (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist
Critically Endangered.
· Nepenthes
mikei (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist
Vulnerable.
· Nepenthes
ovata (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist
Vulnerable.
· Nepenthes
papuana (kantong semar); Endemik Papua dengan status IUCN Redlist Data
Deficient.
· Nepenthes
sumatrana(kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Least
Concern.
· Nothaphoebe
javanica (Kamfer); Endemik Ujung Kulon Banten dengan status IUCN Redlist
Critically Endangered.
· Parashorea
aptera (sejenis meranti); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist
Critically Endangered.
· Pinanga
crassipes(sejenis palem); Endemik Kalimantan.
· Piper
ornatum (Celebes Pepper / Sirih Merah); Endemik Sulawesi.
· Pometia
pinnata (Matoa); Endemik Papua.
· Prunus
adenopoda (Sejenis Persik); Endemik Jawa dengan status IUCN Redlist
Endangered.
· Rafflesia
arnoldii(Rafflesiaatau Patma Raksasa); Endemik Sumatera.
· Rafflesia
borneensis (Rafflesia); Endemik Kalimantan.
· Rafflesia
cilliata (Rafflesia); Endemik Kalimantan Timur.
· Rafflesia
horsfilldii (Rafflesia); Endemik Jawa.
· Rafflesia
micropylora (Rafflesia); Endemik Sumatera.
· Rafflesia
rochussenii (Rafflesia); Endemik Jawa.
· Rafflesia
patma (Rafflesia Patma); Endemik Jawa Tengah dan Jawa Barat.
· Rhododendron
album(Sejenis bunga yang tumbuh di puncak gunung); Endemik Jawa dengan
status IUCN Redlist Vulnerable.
Rhododendron wilhelminae (Sejenis bunga yang
tumbuh di puncak gunung); Endemik Jawa Barat dengan status IUCN Redlist
Critically Endangered.
Dapat dilihat di link dibawah ini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar