Minggu, 09 Juni 2013

Flora dan fauna endemik



Flora dan fauna endemik indonesia
Kuskus Beruang adalah anggota dari genus Ailurops.[1] Kuskus Beruang adalah hewan marsupial dan dari keluarga Phalangeridae.[1]
Kuskus Beruang adalah marsupial arboreal yang hidup di kanopi hutan hujan tropis.[rujukan?] Hampir tidak diketahui status dan keadaan ekologinya.[2][3] Meskipun ilmuwan menggolongkan populasi ini kedalam satu spesies, yaitu , A. ursinus, atau melanotis, tetapi pada dasarnya Kuskus Beruang merupakan suatu spesies.[1] Genus ini berbeda, meskipun pihak berwenang memasukan dalam subfamili, Ailuropinae.[1] Kuskus Beruang hanya ditemukan di beberapa pulau di Indonesia, yang merupakan bagian dari Asia, yang sebagian besar marsupial tidak ditemukan di Asia.It is found only on some of the islands of Indonesia, which is a part of Asia, where marsupials are generally not found. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa isolasi yang menyebabkan Kuskus Beruang ditemukan di Pulau Sulawesi yang terjadi pada waktu Miosen yang menyebabkan perbedaan dari keluarga Phalangeridae.
Rusa Bawean (Axis kuhlii) adalah sejenis rusa yang saat ini hanya ditemukan di Pulau Bawean di tengah Laut Jawa, Secara administratif pulau ini termasuk dalam Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Spesies ini tergolong langka dan diklasifikasikan sebagai "terancam punah" oleh IUCN. Populasinya diperkirakan hanya tersisa sekitar 300 ekor di alam bebas. Rusa Bawean hidup dalam kelompok kecil yang biasanya terdiri atas rusa betina dengan anaknya atau jantan yang mengikuti betina untuk kawin. Mereka tergolong hewan nokturnal atau aktif mencari makan di malam hari
Babirusa (Babyrousa babirussa) hanya terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang.
Panjang tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada 65-80 sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Meskipun bersifat penyendiri, pada umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya.
Binatang yang pemalu ini bisa menjadi buas jika diganggu. Taringnya panjang mencuat ke atas, berguna melindungi matanya dari duri rotan. Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu akan disusui selama satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa betina hanya melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babirusa lima hingga 10 bulan, dan dapat bertahan hingga usia 24 tahun.
Mereka sering diburu penduduk setempat untuk dimangsa atau sengaja dibunuh karena merusak lahan pertanian dan perkebunan. Populasi hewan yang juga memangsa larva ini kian sedikit hingga termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi. Jumlah mereka diperkirakan tinggal 4000 ekor dan hanya terdapat di Indonesia.
Sejak tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan CITES. Namun masih sering dijumpai perdagangan daging babirusa di daerah Sulawesi Utara. Karena itu, pusat penelitian dan pengembangan biologi LIPI bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat beserta Departemen Kehutanan dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan program perlindungan terhadap hewan langka ini. Perlindungan tersebut meliputi pengawasan habitat babirusa dan membuat taman perlindungan babirusa di atas tanah seluas 800 hektar.

Katak kepala-pipih kalimantan (Barbourula kalimantanensis) adalah sejenis kodok dari suku Bombinatoridae. Katak yang langka ini merupakan satu-satunya jenis katak di dunia yang diketahui tidak memiliki paru-paru; meskipun ketiadaan paru-paru ini juga ditemui pada beberapa jenis amfibi lainnya seperti pada salamander dan juga sejenis sesilia, Tanpa paru-paru

Katak ini pertama kali dideskripsi pada tahun 1978 oleh Djoko T. Iskandar, seorang pakar herpetofauna dari ITB.[3] Spesimen yang hanya satu-satunya ini ketika itu diperoleh dari sekitar Nanga Pinoh, Melawi, Kalimantan Barat. Meskipun berbagai upaya pencarian telah dilakukan, spesimen yang kedua baru dapat dikoleksi dari tempat yang berdekatan pada tahun 1995.[2]
Mengingat sampai ketika itu hanya dua spesimen yang dipunyai, belum pernah diketahui sebelumnya bahwa spesies ini tidak memiliki paru-paru, karena tidak pernah dilakukan pembedahan atas koleksi yang amat berharga ini. Sampai pada sekitar bulan Agustus 2007, ketika ditemukan lebih banyak spesimen lagi oleh ekspedisi pencarian kembali katak ini. Ketika itupun, ekspedisi mendapatkan bahwa habitat di tempat katak ini ditemukan mula-mula telah habis rusak oleh penambangan emas ilegal, dan justru menemukan dua populasi yang baru di sebelah hulu, di mana air sungai masih jernih dan deras.[4]
Ketiadaan paru-paru katak ini baru diketahui ketika dilakukan pembedahan rongga dada atas delapan spesimen yang baru dikoleksi, dan tidak mendapatkan baik paru-paru maupun celah tekak (glottis) sebagai muara saluran udara di mulut katak. Kerabat terdekatnya, Barbourula busuangensis, nyata-nyata memiliki paru-paru lengkap dengan saluran pernafasannya. Tak adanya paru-paru pada tetrapoda (hewan berkaki empat) sejauh ini diketahui terjadi pada beberapa banyak spesies hewan, semuanya dari amfibia. Yakni pada salamander dari suku Plethodontidae (350 spesies) dan 2 spesies dari genus Onychodactylus suku Hynobiidae, serta dari sejenis sesilia Atretochoana eiselti. Ketiadaan paru-paru pada katak B. kalimantanensis diperkirakan merupakan adaptasi terhadap lingkungannya yang berair deras dan kaya oksigen, dengan memanfaatkan permukaan kulit dan alat tubuh lainnya untuk menyerap oksigen sebaik-baiknya, dan menghilangkan paru-paru yang menjadikan tubuh katak sukar menyelam dan mudah dihanyutkan arus.[4]
Banteng atau tembadau (dari bahasa Jawa, banṭèng), Bos javanicus, adalah hewan yang sekerabat dengan sapi dan ditemukan di Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Kalimantan, Jawa, and Bali. Banteng dibawa ke Australia Utara pada masa kolonisasi Britania Raya pada 1849 dan sampai sekarang masih lestari.
Terdapat tiga anak jenis banteng liar: B. javanicus javanicus (di Jawa, Madura, dan Bali), B. javanicus lowi (di Kalimantan, jantannya berwarna coklat bukan hitam), dan B. javanicus birmanicus (di Indocina). Anak jenis yang terakhir digolongkan sebagai Terancam oleh IUCN.
Banteng dapat mencapai tinggi sekitar 1,6m di bagian pundaknya dan panjang badan 2,3 m. Berat banteng jantan biasanya sekitar 680 - 810 kg — jantan yang sangat besar bisa mencapai berat satu ton — sedangkan betinanya lebih ringan. Banteng memiliki bagian putih pada kaki bagian bawah dan pantat,punuk putih, serta warna putih disekitar mata dan moncongnya, walaupun terdapat sedikit dimorfisme seksual pada ciri-ciri tersebut. Banteng jantan memiliki kulit berwarna biru-hitam atau atau coklat gelap, tanduk panjang melengkung ke atas, dan punuk di bagian pundak. Sementara, betinanya memiliki kulit coklat kemerahan, tanduk pendek yang mengarah ke dalam dan tidak berpunuk.
Banteng hidup dari rumput, bambu, buah-buahan, dedaunan, dan ranting muda. Banteng umumnya aktif baik malam maupun siang hari, tapi pada daerah pemukiman manusia, mereka beradaptasi sebagai hewan nokturnal. Banteng memiliki kecenderungan untuk berkelompok pada kawanan berjumlah dua sampai tiga puluh ekor. Di Jawa, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran menjadi pertahanan terakhir hewan asli Asia Tenggara ini.
Anoa adalah hewan khas Sulawesi. Ada dua spesies anoa yaitu: Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) dan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis). Keduanya tinggal dalam hutan yang tidak dijamah manusia. Penampilan mereka mirip dengan kerbau dan memiliki berat 150-300 kg. Anak anoa akan dilahirkan sekali setahun.
Kedua spesies tersebut dapat ditemukan di Sulawesi, Indonesia. Sejak tahun 1960-an berada dalam status terancam punah. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup. Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan dagingnya.
Anoa Pegunungan juga dikenal dengan nama Mountain Anoa, Anoa de Montana, Anoa de Quarle, Anoa des Montagnes, dan Quarle's Anoa. Sedangkan Anoa Dataran Rendah juga dikenal dengan nama Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines.
Rangkong papan atau dalam nama ilmiahnya Buceros bicornis adalah spesies terbesar dalam suku burung Bucerotidae. Burung dewasa berukuran sangat besar, dengan panjang mencapai 160cm. Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, dan tanduk kuning-hitam di atas paruh besar berwarna kuning. Kulit mukanya berwarna hitam dengan bulu leher berwarna kuning kecoklatan. Bulu ekor berwarna putih dengan garis hitam tebal di tengah. Tanduk burung Rangkong Papan berongga dan tidak padat. Burung betina berukuran lebih kecil dari burung jantan. Jantan dan betina dapat dibedakan dengan mudah dari matanya. Mata burung betina berwarna biru, sedangkan burung jantan bermata merah.
Populasi Rangkong papan tersebar di hutan tropis di India, Republik Rakyat Cina, Indocina, Nepal, Bhutan, Semenanjung Malaysia dan pulau Sumatera, Indonesia. Pakan burung Rangkong Papan terdiri dari aneka buah-buahan, hewan berukuran kecil, burung, serangga dan reptil. Burung Rangkong bersifat monogami, hanya berpasangan dengan seekor lawan jenis.
Rangkong Papan bersarang di dalam lubang pohon. Pada waktu bertelur, burung betina mengurung diri di dalam lubang pohon yang hampir seluruhnya ditutup dengan lumpur, sampai anak burung mulai besar. Pada saat-saat ini, burung betina dan anak burung tergantung sepenuhnya pada burung jantan untuk memberikan makanan melalui celah kecil yang dibiarkan terbuka.
Penangkapan liar dan hilangnya habitat hutan mengancam keberadaan spesies ini. Burung Rangkong Papan dievaluasikan sebagai hampir terancam di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix I.
Casuarius adalah salah satu dari dua genus burung di dalam suku Casuariidae. Genus ini terdiri dari tiga spesies kasuari yang berukuran sangat besar dan tidak dapat terbang.
Daerah sebaran ketiga spesies ini adalah di hutan tropis dan pegunungan di pulau Irian. Kasuari Gelambir-ganda adalah satu-satunya spesies burung kasuari yang terdapat di Australia.
Kasuari diperlengkapi tanduk di atas kepalanya, yang membantu burung ini sewaktu berjalan di habitatnya di hutan yang lebat. Selain tanduk dikepalanya, kasuari mempunyai kaki yang sangat kuat dan berkuku tajam. Burung kasuari betina biasanya berukuran lebih besar dan berwarna lebih terang daripada jantan.
Kucing merah (Pardofelis badia), juga dikenal sebagai kucing Kalimantan, Kalimantan kucing merah, atau Kalimantan kucing marmer, adalah kucing liar endemik pulau Kalimantan yang muncul relatif jarang dibandingkan dengan sympatric felids, berdasarkan pada kurangnya historis serta catatan terakhir. Pada tahun 2002, IUCN mengklasifikasikan spesies yang bergantung pada hutan ini sebagai terancam punah karena penurunan populasi diproyeksikan oleh lebih dari 20% pada tahun 2020 karena kehilangan habitat. Seperti tahun 2007, ukuran populasi efektif diduga berada di bawah 2.500 individu dewasa.[1]
Kucing merah secara historis telah dicatat sebagai langka dan saat ini tampaknya terjadi pada kepadatan relatif rendah, bahkan di habitat asli.[3]
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan salah satu dari lima spesies badak. Badak ini adalah badak terkecil, memiliki tinggi sekitar 120–145 sentimeter, dengan panjang sekitar 250 sentimeter dan berat 500–800 kilogram. Seperti spesies badak di Afrika, badak ini memiliki dua cula. Badak Sumatra terdapat di Taman Nasional Kerinci Seblat (Bengkulu).
Badak jawa atau Badak bercula-satu kecil (Rhinoceros sondaicus) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan satu dari lima badak yang masih ada. Badak ini masuk ke genus yang sama dengan badak india dan memiliki kulit bermosaik yang menyerupai baju baja. Badak ini memiliki panjang 3,1–3,2 m dan tinggi 1,4–1,7 m. Badak ini lebih kecil daripada badak india dan lebih dekat dalam besar tubuh dengan badak hitam. Ukuran culanya biasanya lebih sedikit daripada 20 cm, lebih kecil daripada cula spesies badak lainnya.
Badak ini pernah menjadi salah satu badak di Asia yang paling banyak menyebar. Meski disebut "badak jawa", binatang ini tidak terbatas hidup di Pulau Jawa saja, tapi di seluruh Nusantara, sepanjang Asia Tenggara dan di India serta Tiongkok. Spesies ini kini statusnya sangat kritis, dengan hanya sedikit populasi yang ditemukan di alam bebas, dan tidak ada di kebun binatang. Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi.[4] Populasi 40-50 badak hidup di Taman Nasional Ujung Kulon di pulau Jawa, Indonesia. Populasi badak Jawa di alam bebas lainnya berada di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam dengan perkiraan populasi tidak lebih dari delapan pada tahun 2007. Berkurangnya populasi badak jawa diakibatkan oleh perburuan untuk diambil culanya, yang sangat berharga pada pengobatan tradisional Tiongkok, dengan harga sebesar $30.000 per kilogram di pasar gelap.[4] Berkurangnya populasi badak ini juga disebabkan oleh kehilangan habitat, yang terutama diakibatkan oleh perang, seperti perang Vietnam di Asia Tenggara juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa dan menghalangi pemulihan.[5] Tempat yang tersisa hanya berada di dua daerah yang dilindungi, tetapi badak jawa masih berada pada risiko diburu, peka terhadap penyakit dan menciutnya keragaman genetik menyebabkannya terganggu dalam berkembangbiak. WWF Indonesia mengusahakan untuk mengembangkan kedua bagi badak jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami, letusan gunung berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung punah.[6] Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan sumber, maka populasinya semakin terdesak.[6] Kawasan yang diidentifikasikan aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat yang pernah menjadi habitat badak Jawa.[6]
Burung-burung cendrawasih merupakan anggota famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes. Mereka ditemukan di Indonesia timur, pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Burung anggota keluarga ini dikenal karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau kepalanya. Ukuran burung cendrawasih mulai dari Cendrawasih raja pada 50 gram dan 15 cm hingga Cendrawasih paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cendrawasih manukod jambul-bergulung pada 430 gram.
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea, termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning-besar, Paradisaea apoda. Jenis ini dideskripsikan dari spesimen yang dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang. Spesimen ini disiapkan oleh pedagang pribumi dengan membuang sayap dan kakinya agar dapat dijadikan hiasan. Hal ini tidak diketahui oleh para penjelajah dan menimbulkan kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah mendarat namun tetap berada di udara karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of paradise ('burung surga' oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda - yang berarti 'tak berkaki'.
Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang rumit, dengan sistem kawin jenis-jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin. Sementara jenis lain seperti jenis-jenis Cicinnurus dan Parotia memiliki tari perkawinan yang beraturan. Burung jantan pada jenis yang dimorfik seksual bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang dideskripsikan sebagai jenis baru, dan beberapa spesies diragukan kevalidannya.
Jumlah telurnya agak kurang pasti. Pada jenis besar, mungkin hampir selalu satu telur. Jenis kecil dapat menghasilkan sebanyak 2-3 telur (Mackay 1990).
Bunga bangkai atau suweg raksasa atau batang krebuit (nama lokal untuk fase vegetatif), Amorphophallus titanum Becc., merupakan tumbuhan dari suku talas-talasan (Araceae) endemik dari Sumatera, Indonesia, yang dikenal sebagai tumbuhan dengan bunga (majemuk) terbesar di dunia, meskipun catatan menyebutkan bahwa kerabatnya, A. gigas (juga endemik dari Sumatera) dapat menghasilkan bunga setinggi 5m. [1] Namanya berasal dari bunganya yang mengeluarkan bau seperti bangkai yang membusuk, yang dimaksudkan sebenarnya untuk mengundang kumbang dan lalat penyerbuk bagi bunganya. Banyak orang sering salah mengira dan tidak bisa membedakan bunga bangkai dengan Rafflesia arnoldii. Mungkin karena orang sudah mengenal Rafflesia sebagai bunga terbesar dan kemudian menjadi bias dengan ukuran bunga bangkai yang juga besar.
Tumbuhan ini memiliki dua fase dalam kehidupannya yang muncul secara bergantian, fase vegetatif dan fase generatif. Pada fase vegetatif muncul daun dan batang semunya. Tingginya dapat mencapai 6m. Setelah beberapa waktu (tahun), organ vegetatif ini layu dan umbinya dorman. Apabila cadangan makanan di umbi mencukupi dan lingkungan mendukung, bunga majemuknya akan muncul. Apabila cadangan makanan kurang tumbuh kembali daunnya.
Bunganya sangat besar dan tinggi, berbentuk seperti lingga (sebenarnya adalah tongkol atau spadix) yang dikelilingi oleh seludang bunga yang juga berukuran besar. Bunganya berumah satu dan protogini: bunga betina reseptif terlebih dahulu, lalu diikuti masaknya bunga jantan, sebagai mekanisme untuk mencegah penyerbukan sendiri. Hingga tahun 2005, rekor bunga tertinggi di penangkaran dipegang oleh Kebun Raya Bonn, Jerman yang menghasilkan bunga setinggi 2,74m pada tahun 2003. Pada tanggal 20 Oktober 2005, mekar bunga dengan ketinggian 2,91m di Kebun Botani dan Hewan Wilhelma, Stuttgart, juga di Jerman. Namun demikian, Kebun Raya Cibodas, Indonesia mengklaim bahwa bunga yang mekar di sana mencapai ketinggian 3,17m pada dini hari tanggal 11 Maret 2004 [2]. Bunga mekar untuk waktu sekitar seminggu,
Anggrek hitam (Coelogyne pandurata) adalah spesies anggrek yang hanya tumbuh di pulau Kalimantan. Anggrek hitam adalah maskot flora propinsi Kalimantan Timur. Saat ini, habitat asli anggrek hitam mengalami penurunan jumlah yang cukup besar karena semakin menyusutnya luas hutan di Kalimantan namun masih bisa ditemukan di cagar alam Kersik Luway dalam jumlah yang sedikit. Diperkirakan jumlah yang lebih banyak berada di tangan para kolektor anggrek, Dinamakan anggrek hitam karena anggrek ini memiliki lidah (labellum) berwarna hitam dengan sedikit garis-garis berwarna hijau dan berbulu. Sepal dan petal berwarna hijau muda. Bunganya cukup harum semerbak dan biasa mekar pada bulan Maret hingga Juni.
Anggrek hitam termasuk dalam anggrek golongan simpodial dengan bentuk bulb membengkak pada bagian bawah dan daun terjulur di atasnya. Setiap bulb hanya memiliki dua lembar daun saja. Daunnya sendiri sekilas mirip seperti daun pada tunas kelapa muda.
Kayu-hitam Sulawesi adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari suku eboni-ebonian (Ebenaceae). Nama ilmiahnya adalah Diospyros celebica, yakni diturunkan dari kata "celebes" (Sulawesi), dan merupakan tumbuhan endemik daerah itu, Pohon, batang lurus dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan) besar. Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam. Pepagannya berwarna coklat muda dan di bagian dalamnya berwarna putih kekuning-kuningan.
Daun tunggal, tersusun berseling, berbentuk jorong memanjang, dengan ujung meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit dan berwarna hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna hijau abu-abu.
Bunganya mengelompok pada ketiak daun, berwarna putih. Buahnya bulat telur, berbulu dan berwarna merah kuning sampai coklat bila tua. Daging buahnya yang berwarna keputihan kerap dimakan monyet, bajing atau kelelawar; yang dengan demikian bertindak sebagai agen pemencar biji. Bijinya berbentuk seperti baji yang memanjang, coklat kehitaman.
Matoa (Pometia pinnata) adalah tanaman buah khas Papua, tergolong pohon besar dengan tinggi rata-rata 18 meter dengan diameter rata-rata maksimum 100 cm.[1] Umumnya berbuah sekali dalam setahun.[1] Berbunga pada bulan Juli sampai Oktober dan berbuah 3 atau 4 bulan kemudian.[1] Penyebaran buah matoa di Papua hampir terdapat di seluruh wilayah dataran rendah hingga ketinggian ± 1200 m dpl.[1] Tumbuh baik pada daerah yang kondisi tanahnya kering (tidak tergenang) dengan lapisan tanah yang tebal.[1] Iklim yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang baik adalah iklim dengan curah hujan yang tinggi (>1200 mm/tahun).[1] Matoa juga terdapat di beberapa daerah di Sulawesi, Maluku, dan Papua New Guinea.[2] Buah matoa memiliki rasa yang manis.[2]
Di Papua dikenal 2 jenis matoa, yaitu Matoa Kelapa dan Matoa Papeda.[1] Ciri yang membedakan keduanya adalah terdapat pada tekstur buahnya, Matoa Kelapa dicirikan oleh daging buah yang kenyal seperti rambutan aceh, diameter buah 2,2-2,9 cm dan diameter biji 1,25-1,40 cm.[1] Sedangkan Matoa Papeda dicirikan oleh daging buahnya yang agak lembek dan lengket dengan diamater buah 1,4-2,0 cm.[1] Tanaman ini mudah beraptasi dengan kondisi panas maupun dingin.[2] Pohon ini juga tahan terhadap serangga, yang pada umumnya merusak buah.[2]
Cendana, atau cendana wangi, merupakan pohon penghasil kayu cendana dan minyak cendana. Kayunya digunakan sebagai rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi, campuran parfum, serta sangkur keris (warangka). Kayu yang baik bisa menyimpan aromanya selama berabad-abad. Konon di Sri Lanka kayu ini digunakan untuk membalsam jenazah putri-putri raja sejak abad ke-9. Di Indonesia, kayu ini banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Timor, meskipun sekarang ditemukan pula di Pulau Jawa dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.
Cendana adalah tumbuhan parasit pada awal kehidupannya. Kecambahnya memerlukan pohon inang untuk mendukung pertumbuhannya, karena perakarannya sendiri tidak sanggup mendukung kehidupannya. Karena prasyarat inilah cendana sukar dikembangbiakkan atau dibudidayakan.[2]
Kayu cendana wangi (Santalum album) kini sangat langka dan harganya sangat mahal. Kayu yang berasal dari daerah Mysoram di India selatan biasanya dianggap yang paling bagus kualitasnya. Di Indonesia, kayu cendana dari Timor juga sangat dihargai. Sebagai gantinya sejumlah pakar aromaterapi dan parfum menggunakan kayu cendana jenggi (Santalum spicatum). Kedua jenis kayu ini berbeda konsentrasi bahan kimia yang dikandungnya, dan oleh karena itu kadar harumnya pun berbeda.
Kayu cendana dianggap sebagai obat alternatif untuk membawa orang lebih dekat kepada Tuhan. Minyak dasar kayu cendana, yang sangat mahal dalam bentuknya yang murni, digunakan terutama untuk penyembuhan cara Ayurveda, dan untuk menghilangkan rasa cemas. Kepuh atau kelumpang (Sterculia foetida) adalah sejenis pohon kerabat jauh kapuk randu. Tinggi dengan batang besar menjulang, pohon ini kerap didapati di hutan-hutan pantai. Di Bali dan juga di Jawa, pohon yang lekas tumbuh ini banyak ditemukan di pemakaman.
Nama-nama lainnya, di antaranya halumpang (Bat.); kĕpoh, kolèangka (Sd.); kepuh, kepoh, jangkang (Jw.); jhangkang, kekompang (Md.); kepuh, kepah, kekepahan (Bal.); kepoh, kelompang, kapaka, wuka, wukak (bahasa-bahasa di NTT); bungoro, kalumpang (Mak.); alumpang, alupang, kalupa (Bug.); kailupa furu, kailupa buru (Maluku Utara); dan lain-lain.[1] Juga disebut sebagai kabu-kabu, kalupat, lepong, kelumpang jari.[2]
Nama marganya diambil dari Sterculius atau Sterquilinus, yakni nama dewa pupuk pada mitologi Romawi. Bersama dengan nama spesiesnya, foetida (artinya, berbau keras, busuk), nama ilmiahnya merujuk pada bau tak enak yang dikeluarkan oleh pohon ini, terutama dari bunganya, Bunga majemuk dalam malai dekat ujung ranting, panjang 10–15 cm, hijau atau ungu pudar; dengan kelopak yang berbagi-5 laksana mahkota, taju hingga 1,3 cm, berwarna jingga. Buah bumbung besar, lonjong gemuk, 7,6–9 x 5 cm; berkulit tebal, merah terang, akhirnya mengayu; berkumpul dalam karangan berbentuk bintang. Biji 10-15 butir per buah, kehitaman, melekat dengan aril berwarna kuning, 1,5–1,8 cm panjangnya.[2]
Ketapang atau katapang (Terminalia catappa) adalah nama sejenis pohon tepi pantai yang rindang. Lekas tumbuh dan membentuk tajuk indah bertingkat-tingkat, ketapang kerap dijadikan pohon peneduh di taman-taman dan tepi jalan. Selain nama ketapang dengan pelbagai variasi dialeknya (misalnya Bat.: hatapang; Nias: katafa; Mink.: katapiĕng; Teupah: lahapang; Tim.: ketapas; Bug.: atapang; dll.), pohon ini juga memiliki banyak sebutan seperti talisei, tarisei, salrisé (Sulut); tiliso, tiliho, ngusu (Maluku Utara); sarisa, sirisa, sirisal, sarisalo (Mal.); lisa (Rote); kalis, kris (Papua Barat); dan sebagainya.[1]
Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini dikenal dengan nama-nama Bengal almond, Indian almond, Malabar almond, Singapore almond, Tropical almond, Sea almond, Beach almond, Talisay tree, Umbrella tree, dan lain-lain.
·  Nepenthes adnata (kantong semar); Endemik Sumatera Barat dengan status IUCN Redlist Data Deficient.
·  Nepenthes aristolochioides (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Critically Endangered.
·  Nepenthes bongso (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Vulnerable.
·  Nepenthes diatas (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Lower Risk.
·  Nepenthes clipeata (kantong semar); Endemik Kalimantan Barat dengan status IUCN Redlist Critically Endangered.
·  Nepenthes dubia (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Critically Endangered.
·  Nepenthes eymae (kantong semar); Endemik Sulawesi dengan status IUCN Redlist Vulnerable.
·  Nepenthes inermis (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Vulnerable.
·  Nepenthes insignis (kantong semar); Endemik Papuadengan status IUCN Redlist Vulnerable.
·  Nepenthes jamban (kantong semar); Endemik Sumatera.
·  Nepenthes klossii (kantong semar); Endemik Papua dengan status IUCN Redlist Vulnerable.
·  Nepenthes lavicola (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Critically Endangered.
·  Nepenthes mikei (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Vulnerable.
·  Nepenthes ovata (kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Vulnerable.
·  Nepenthes papuana (kantong semar); Endemik Papua dengan status IUCN Redlist Data Deficient.
·  Nepenthes sumatrana(kantong semar); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Least Concern.
·  Nothaphoebe javanica (Kamfer); Endemik Ujung Kulon Banten dengan status IUCN Redlist Critically Endangered.
·  Parashorea aptera (sejenis meranti); Endemik Sumatera dengan status IUCN Redlist Critically Endangered.
·  Pinanga crassipes(sejenis palem); Endemik Kalimantan.
·  Piper ornatum (Celebes Pepper / Sirih Merah); Endemik Sulawesi.
·  Pometia pinnata (Matoa); Endemik Papua.
·  Prunus adenopoda (Sejenis Persik); Endemik Jawa dengan status IUCN Redlist Endangered.
·  Rafflesia arnoldii(Rafflesiaatau Patma Raksasa); Endemik Sumatera.
·  Rafflesia borneensis (Rafflesia); Endemik Kalimantan.
·  Rafflesia cilliata (Rafflesia); Endemik Kalimantan Timur.
·  Rafflesia horsfilldii (Rafflesia); Endemik Jawa.
·  Rafflesia micropylora (Rafflesia); Endemik Sumatera.
·  Rafflesia rochussenii (Rafflesia); Endemik Jawa.
·  Rafflesia patma (Rafflesia Patma); Endemik Jawa Tengah dan Jawa Barat.
·  Rhododendron album(Sejenis bunga yang tumbuh di puncak gunung); Endemik Jawa dengan status IUCN Redlist Vulnerable.
Rhododendron wilhelminae (Sejenis bunga yang tumbuh di puncak gunung); Endemik Jawa Barat dengan status IUCN Redlist Critically Endangered.


Dapat dilihat di link dibawah ini :